Pokok dan Ranting-Ranting
Setiap agama memiliki pokok yang merupakan Nabi-Nabi yang merintis dan mengembangkan ajaran agama tersebut. Dalam Kristen dan Khatolik ada Yesus. Dalam Islam ada Muhammad. Dalam agama-agama lain pun demikian.
Masa kini, kita tidak lagi bisa melihat Pokok-Pokok tersebut secara langsung. Karena itu, kehadiran Pokok diwakili oleh semua pengikut agama yang melalui perilaku dan tutur kata mereka meniru dan menjalankan ajaran para Nabi yang meletakkan ajaran agama tersebut. Dengan demikian, tingkah dan perilaku pengikut sangat penting untuk menunjukkan kebenaran pada pokok. Kebaikan dan tutur kata yang sehat dari orang beragama akan mengasosiasikan agama tersebut dengan Nabi yang menjadi peletak ajaran agama tersebut. Sehingga, setiap pengikut agama diharapkan berbuah manis dalam bentuk perbuatan baik agar orang lain, termasuk yang tak beragama dapat merasakan dan memandang pokok agama tersebut berasal dari kebenaran.
Sebaliknya, perilaku buruk dan tutur yang menyakiti hati orang, apalagi atas nama agama, akan serta merta mengasosiasikan orang ke Pokok. Orang membenci, menghujat, dan mencela Pokok, pertama-tama bukan karena Pokok itu sendiri tetapi karena perilaku pengikutnya yang memang tercela.
Jangan jadi orang beragama yang bikin orang makin tidak percaya Tuhan karena mereka yang ateis melihat perilaku orang-orang beragama sebagai contoh bahwa beragama adalah kekeliruan. Bahwa beragama berasal dari sumber yang salah.
Dalam tradisi agama Kristen, beragama yang baik adalah suatu bentuk “domba yang baik”. Dalam dua minggu ini, bacaan Injil mingguan agama Khatolik berbicara mengenai gembala yang baik dan domba-dombanya. Gembala dan domba adalah metafor yang melambangkan hubungan Yesus dan pengikutnya. Metafor ini digunakan Yesus untuk membumikan relasi Allah dan manusia dalam bahasa yang kontekstual yakni situasi pertanian Yahudi pada masa itu. Minggu lalu (25 April), bacaannya adalah Gembala yang baik dengan ukuran-ukurannya yang jelas. Namun dalam bacaan tersebut belum tersingkap, apa yang disebut domba yang baik.
Bacaan minggu ini bicara soal domba yang baik yang mendengar suara gembalanya dan mengikuti Dia. Sejalan dengan metafor ini adalah Pokok anggur dan ranting-ranting dengan buahnya yang manis. Tidak ada ranting tanpa pokok. Namun orang mengenal pokok dari ranting yang berbuah. Ranting yang berbuah manis tidak hanya menarik minat orang, bahkan makhluk hidup lainnya betah untuk bersarang disitu.
Cara hidup yang benar dari orang beragama merupakan buah manis dari Pokok yang benar. Buah yang pahit dan sepet akan bikin orang menjauh. Buah manis adalah kejujuran, senyum, kerendahan hati, atau singkatnya adalah KASIH.
Wujud kasih adalah ketika hidupmu sumpek, tersenyumlah!
Jangan sibuk mengkritik atau menggosipkan nama orang. Yang penulis, belajarlah menulis dengan jadi penulis, bukan mengkritik tulisan orang. Makin sering mendiskusikan tulisan orang lain, makin terkenal pula orang itu. Kita malah makin sulit menulis. Membaca membuatmu mengenal diri. Sementara menulis membuat kita dikenal dunia. Demikian halnya dengan profesi lain seperti petani, pebisnis, dan seterusnya.
Penggunaan Otak
Banyak orang sudah mempunyai kemampuan dasar penggunaan otak untuk menghadapi persoalan dalam hidup sehari-hari. Misalnya, kesungguhan membaca, menganalisis, dan menulis yang merupakan exercise otak lobus frontal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara teliti dengan pertimbangan yang matang. Di samping bahwa hal itu melatih kesabaran dan ketekunan. Ketika ada masalah tidak serta merta reaktif yang merupakan cara respons amigdala. Karena itu, kebiasaan menggunakan lobus frontal mengurai persoalan menjadi modal menghadapi hal-hal kecil seperti ketakutan, cemas, kuatir. Ketekunan, kesabaran, dan kehati-hatian yang sudah terlatih dalam pekerjaan (membaca, menulis, mencapai target) dikonversi dalam sikap sehari-hari. Misalnya, perlakuan terhadap suami, istri, anak-anak, sikap terhadap masalah-masalah publik, dan seterusnya.
Dalam proses mendapatkan pertimbangan yang matang dan baik, otak harus diarahkan untuk mendengar suara malaikat. Malaikat selalu menuntun dan menginformasikan. Minimal kita bisa menerima, kemudian sukacinta yang diikuti sukacita. Kita sulit mendengar karena terlalu banyak suara yang melekat pada otak kita.
Moment of Emptiness
Banyak orang bertanya bagaimana bisa mendengar tuntunan Malaikat. Untuk bisa mendengar Malaikat maka harus ada moment of emptiness. Caranya, keluarlah dari rutinitas, dari kepadatan, dari tuntutan. Malaikat membantu kita keluar dari kepadatan itu dengan mengurainya. Cara untuk melepaskan diri dari kepadatan adalah memutuskan harapan. Harapan untuk dicintai, harapan untuk dihargai, harapan untuk dihormati, harapan untuk mendapatkan uang lebih, harapan untuk sukses. Itu semua diputus. Moto hidup yang harus dipegang adalah “carpe diem”. Nikmatilah hari ini.
Nikmati hidupmu hari ini karena mereka yang terantuk adalah orang yang melihat terlalu jauh. Bukan yang melihat ke bawah. Mereka yang berharap terlampau jauh meletakkan harapan dan pikirannya di tempat lain, bukan di depan mata. Itulah yang disebut split personality atau kepribadian ganda. Fisiknya ada di suatu tempat tetapi pikirannya di tempat lain. Pekerjaannya di suatu tempat tetapi berharap kerja di tempat lain. Punya keluarga, suami, istri, anak, tetapi fisik ada di tempat lain.
Dalam kehidupan beragama, momen pengakuan dosa yang rutin seringkali jadi ajang munafik. Orang yang merasa diri berdosa, akhirnya terus-terusan berbuat dosa. Mereka bergantung pada rutinitas pengakuan semacam itu, bukan pada perubahan hidup. Karena itu, mulailah secara tegas bersikap. Jangan terus-terusan “maaf”, “sorry” karena dialog atau hal semacam itu tidak bermakna selain repetisi yang basa basi dan menghilangkan ketegasan dalam bersikap.
Pilihan tentu selalu ada. Itu manusiawi. Namun ketegasan sangat penting. Sering terjadi, terlalu banyak pilihan dan akhirnya kepala kita penuh dengan “tetapi”. Tidak ada ketegasan. Terlalu banyak “tetapi” akan jadi “tapitaok” atau “tepetaok”. Kepala kita akhirnya gaduh dan tidak bisa memutuskan.
Sikap harus ada. Untuk mempunyai sikap maka harus mendengar Allah. Tuntunan itu muncul dengan pengorbanan. Tidak semua hal harus diambil. Ada beberapa buku yang dapat menjadi referensi untuk mempelajari bagaimana kehendak Allah, bagaimana mendengar suara Malaikat.
Doreen Virtue. (2010). How to Hear Your Angels
Doreen Virtue. (2014). Divine Prescriptions
Sebetulnya, manusia telah dianugerahi moment of emptiness. Anugerah tersebut adalah lupa. Melalui “lupa”, banyak peristiwa yang sudah terekam oleh otak (semua peristiwa hidup terekam otak), bisa dilupakan. Ketika otak kita terlalu penuh, kita tidak memanen kecerdasan tetapi bebal. Tidak bisa berpikir.
Lupa dan reaksi terhadap suatu peristiwa juga terkait dengan struktur otak manusia. Posisi amigdala (memori jangka pendek) agak berjauhan dengan lobus frontal namun berdekatan dengan hippokampus (memori jangka panjang). Ada banyak peristiwa yang tercatat pada amigdala dibawa ke hippokampus karena tidak ada kesempatan untuk diolah di lobus frontal. Namun pada mereka yang amigdalanya sensitif, seringkali memori jangka panjang itu (hippokampus) dikorek terus. Biasanya ketika terus menerus dikorek, yang keluar lebih cepat adalah hal negatif karena prasangka, curiga, dan sejenisnya merupakan bagian dari mekanisme hidup. Ketika hal semacam itu terus menerus berlangsung, otak kita rusak. Makanya, orang yang tukang marah, rendah diri, bodoh, minder jarang melihat ke atas, tetapi tunduk karena secara fisik posisi amigdala lebih rendah daripada lobus frontal. Ketika marah, pertimbangan lobus frontal hilang, kesempatan untuk berdialog dengan Allah di atas sana juga lenyap. Akhirnya bongkok.
Prioritas dan Ranting yang Berbuah Manis
Prioritas adalah sikap hidup yang benar. Akibat tidak ada prioritas banyak orang menghambur-hamburkan uang. Ada uang, langsung dibelanjakan. Autophagy adalah misi prioritas. Banyak yang bisa dihemat dengan mengikuti autophagy. Minyak, tenaga, air, api, waktu, bisa dikurangi sedemikian rupa dengan autophagy. Selama ini, betapa banyak terjadi pemborosan di dapur hanya karena urusan makan.
SKK adalah penyelamat karena menempuh cara hidup berhemat. Melalui cara itu, bumi bisa diselamatkan. Banggalah karena sudah menjadi penyelamat tanpa pamrih, tanpa menghitung. Sama seperti Allah sendiri tidak pernah menghitung kebaikan yang Ia lakukan. Cara hidup semacam itulah yang merupakan ciri Homo Deus, Imago Dei, Imago Christi.
SKK sudah bisa menentukan prioritas dan sikap. Jika tidak berhasil mengurangi mengeluh, minimal bisa mengeluh dengan tegas. Bukan “hume hames”, tidak jelas. Akhirnya hanya menggerutu dan bersungut-sungut.
Cara hidup semacam itu merupakan contoh ranting yang berbuah manis. Tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk orang dan makhluk hidup lain. Untuk mempertahankan cara hidup demikian itu, tetaplah menempel ke pokok. Semakin manis, semakin banyak orang berdatangan dan semakin orang mengenal pokok. Bahkan makhluk-mahkluk lain pun ikut mendekat. Bentuk-bentuk buah yang baik dan manis adalah kejujuran, rajin, indah, ramping, kecerdasan. Kelimpahan kecerdasan bukan untuk diri sendiri, tetapi buat orang lain.
Diringkas oleh Steni [SKK Jakarta]
Comments
Post a Comment