Pos Kupang 8 April 2016
Oleh Porat Antonius
Menyembuhkan itu mahal. Itu benar. Mengapa?
Jawabannya satu, yakni kapitalisme dan mafia medis. Orang sakit menjadi sapi
perahan. Banyak pihak ikut 'menguras' orang sakit, yaitu industri obat, dokter,
industri alkes, apotek, laboratorium, calo dan sebagainya. Pihak-pihak ini
mapan secara jaringan dan berhasil menciptakan penyembuhan mahal. Tidak peduli
bahwa yang membayar adalah orang sakit, tidak berdaya dan tidak produktif.
Benar bahwa orang miskin dilarang sakit.
Masyarakat menerima saja bahwa menyehatkan itu mahal.
Karenanya, yang ngetrend, menjadi anggota asuransi kesehatan sebagai
jawabannya. Selama sehat biaya dicicil. Ketika tanggungan asuransi terbatas,
kocek tetap dikuras. Banyak yang berpikir bahwa asuransi merupakan dewa
penyelamat. Jarang dibaca sebagai jaringan kapitalisme juga. Ketika asuransi
rugi, heboh. Mengapa? Karena bagian dari jaringan kapitalisme yang tabu
terhadap yang namanya rugi.
Adakah cara murah supaya tidak terjebak dalam jaringan yang
mahal itu? Apakah sakit itu merupakan keharusan hingga mesti membayar walau
sehat? Marilah menelusuri kisahnya.
Michael Greger, M.D, dalam bukunya yang berjudul, How Not To
Die (2015), menyebutkan bahwa menyehatkan itu mahal bermula terbentuk dari
sistem pendidikan kedokteran yang curative based. Sistem Pendidikan
Curative-based ini bertolak dari satu pandangan bahwa tubuh sakit karena
intruder yang juga disebut virus. Bukan karena makanan, meski diakui bahwa sel
tubuh hidup dari makanan yang cocok. Bukan karena obat. Mengabaikan yang
demikian, pandangan ini tetap teguh.
Karenanya Intruder dilawan, salah satunya dengan obat agar
intrudernya keluar atau mati. Dalam kondisi tertentu, bagian tubuh yang
terganggu karena intrudernya tidak mati dengan obat diamputasi.
Disadari atau tidak curative-based system ini membentuk dan
menghidupkan jaringan mafia sekaligus karena obat bukan urusan satu pihak.
Sesuai Greger, mengubah sistem pendidikan dokter sebagai salah satu jalan untuk
merontokkan kapitalisme itu merupakan jawabannya. Itu mungkin untuk yang akan
datang. Untuk yang sekarang, tidak mungkin karena para dokter sudah telanjur
menjadi bagian terdepan jaringan. Setiap bagian berkontribusi kepada dokter,
supaya nyaman dalam jaringan.
Dokter (diakui oleh dokter atau tidak) mendapat bayaran atau
dalam bahasa santunnya komisi dari beberapa sumber yaitu penderita,
laboratorium, industri obat, industri alat medis dan apotek atas layanan yang
disediakannya. Sekarang semakin jelas sebagai satu sistem. Praktek dokter,
apotek, laboratorium dan jaringan lainnya berada pada satu lokasi, yang pada
permukaannya sebagai memudahkan layanan. Yang tersembunyi adalah semakin dekatnya
transaksi lain sesudah layanan. Apakah yang telanjur mapan akan ikut mendukung
perubahan sistem pendidikan dokter?
Dengan demikian, perubahan kurikulum pendidikan dokter bukan
menjadi jawabannya, karena dokter akan mempertahankan kenyamanan itu. Pun akan
tetap sulit diterobosi hanya dengan pendidikan karakter seperti yang dianjurkan
Lasarus Jehamat, sosiolog Undana. Mafia ini pun tidak akan berakhir dengan
menggugat dokter secara hukum.
Masyarakat penderita dan masyarakat umumnya diharapkan
mengatur strategi lain untuk berperang melawan mafia yang secara sistematik dan
legal menguras kocek yang sakit, tak berdaya lagi tidak produktif.
Tidak hanya itu. Curative based system meskipun masih
bermanfaat pada kondisi tertentu, tetap bermasalah. Ada beberapa masalah yang
nyata. Pertama, biaya kesehatan mahal karena tergantung obat-obatan yang
harganya diatur jaringannya. Kedua, hubungan manusia dengan makrokosmos, tempat
hidup manusia dan tempat hidup makhluk lain terganggu.
Alam makro tidak aman dan tidak nyaman karena alam penuh
dengan peluruh pestisida atau bahan kimia dan limbah kemasan untuk memerangi
virus. Ketiga, tubuh manusia sendiri sebagai mikrokosmos penuh dengan intruder
atau toxin buatan manusia yang disebut obat. Tubuh akhirnya sakit juga. Yang
keempat, hubungan antarmanusia terutama dengan yang berprofesi medis terganggu.
Banyak orang sakit yang kecewa karena mahalnya perawatan sementara kesembuhan
tidak tercapai. Sebagai contoh, diabetes jalan terus dan minum obat juga
demikian jalan terus sampai mati.
Kenyataan ini mengajak manusia untuk beralih ke yang lain
yang melengkapi bahkan mengggantikan strategi curative based. Strategi itu
lebih menjamin hubungan antara manusia dan hubungan antara manusia dengan alam
dan terutama lebih menjamin kesehatan daripada curative-based system. Strategi
itu adalah nutrition based.
Dua paham yang berbeda muncul. Yang pertama, animal based
nutrition dan kedua plant based nutition. Michael Greger (2015) menganjurkan
manusia untuk mengkonsumsi plant-based nutrition daripada animal-based
nutrition. Stephen Le, seorang pakar Biologi Antropologi, juga demikian.
Stephen Le dalam bukunya yang berjudul, What Our Ancestor Ate and Why It
Matters Today (2016) menemukan bahwa mengkonsumsi animal-based nutrition benar
berhasil mengubah tubuh manusia lebih besar dan lebih tinggi, tetapi
animal-based nutrition menimbulkan banyak penyakit dan menyebabkan manusia
berusia pendek.
Tidak hanya itu. Curative based system meskipun masih
bermanfaat pada kondisi tertentu, tetap bermasalah. Ada beberapa masalah yang
nyata. Pertama, biaya kesehatan mahal karena tergantung obat-obatan yang
harganya diatur jaringannya. Kedua, hubungan manusia dengan makrokosmos, tempat
hidup manusia dan tempat hidup makhluk lain terganggu.
Alam makro tidak aman dan tidak nyaman karena alam penuh
dengan peluruh pestisida atau bahan kimia dan limbah kemasan untuk memerangi
virus. Ketiga, tubuh manusia sendiri sebagai mikrokosmos penuh dengan intruder
atau toxin buatan manusia yang disebut obat. Tubuh akhirnya sakit juga. Yang
keempat, hubungan antarmanusia terutama dengan yang berprofesi medis terganggu.
Banyak orang sakit yang kecewa karena mahalnya perawatan sementara kesembuhan
tidak tercapai. Sebagai contoh, diabetes jalan terus dan minum obat juga
demikian jalan terus sampai mati.
Kenyataan ini mengajak manusia untuk beralih ke yang lain
yang melengkapi bahkan mengggantikan strategi curative based. Strategi itu
lebih menjamin hubungan antara manusia dan hubungan antara manusia dengan alam
dan terutama lebih menjamin kesehatan daripada curative-based system. Strategi
itu adalah nutrition based.
Dua paham yang berbeda muncul. Yang pertama, animal based
nutrition dan kedua plant based nutition. Michael Greger (2015) menganjurkan
manusia untuk mengkonsumsi plant-based nutrition daripada animal-based
nutrition. Stephen Le, seorang pakar Biologi Antropologi, juga demikian.
Stephen Le dalam bukunya yang berjudul, What Our Ancestor Ate and Why It
Matters Today (2016) menemukan bahwa mengkonsumsi animal-based nutrition benar
berhasil mengubah tubuh manusia lebih besar dan lebih tinggi, tetapi
animal-based nutrition menimbulkan banyak penyakit dan menyebabkan manusia
berusia pendek.
Plant-based nutrition di sisi lain, menjadikan manusia tidak
tinggi dan tidak gede, tetapi berusia produktif lebih panjang. Sekedar contoh,
seperti yang diungkapkan Michael Greger dalam hubungannya dengan usia harapan
hidup. Manusia dahulu yang banyak mengkonsumsi makanan plant-based nutrition
mencapai usia lima puluh tahun, misalnya. Hampir selama itu manusia berproduksi
dibandingkan dengan manusia sekarang yang cenderung berpola animal-based. Yang
mengkonsumsi animal-based nutrition berbadan tinggi besar dan berusia lebih
panjang dari yang bergantung pada tumbuhan tetapi separuh dari hidupnya tidak
produktif, setengah hidup di kursi roda atau di tempat tidur.
Hingga kini, masih ada kontroversi di antara animal-based
nutrition dan plant based nutrition. Kasus sehari-hari juga menunjukkannya. Ada
yang mengkonsumi animal based nutrition berhidup sehat, berusia panjang dan
produktif sepanjang hidup. Ada juga yang sebaliknya. Demikian juga dengan yang
banyak mengkonsumsi plant-based nutrition. Belum ditambah dengan kasus spesifik
yang berhubungan dengan telur, ikan, cabai, kentang, tomat dan sebagainya.
Dengan demikian, memilih makanan antara animal based atau
plant based belum memberikan kepastian apalagi menjamin kesehatan prima.
Ujung-ujungnya manusia masih dapat sakit dan membutuhkan penolong seperti rumah
sakit yang cenderung curative based dan secara nutrisi tidak tegas menganut
plant-based atau animal based. Selama ilmu terbatas, selama alat terbatas, dan
selama dokter masih terjebak dalam jaringan mafia kapitalisme uang, dan selama
dokternya kurang berkarakter, manusia akan kembali terjebak dalam jaringan
mafia medis yang mahal untuk hidup sehat.
Sebenarnya masih ada satu strategi yang tidak rumit untuk
dilakukan manusia sederhana yaitu strategi pemertahanan diri dengan menyeleksi
makanan sesuai disposisi genetis. Caranya dengan memahami keunikan diri atau
secara ilmiah disebut sebagai disposisi genetis. Keunikan ini yang sebenarnya
yang menentukan relasi dengan lingkungan alam dan makanan. Secara ilmiah
keunikan ditentukan gen.
Dunia sedang mengembangkan makanan berdasarkan keunikan
genetis yang dikenal sebagai nutrigenome dan nutrigenetik. Diakui bahwa hampir
1.000 jenis penyakit yang sudah teridentifikasi berkat ilmu itu. Tetapi diakui
juga bahwa banyak penyakit seperti diabetes, darah tinggi, dan sebagainya tidak
bersifat monogenetis, melainkan poligenetis dan sulit diidentifikasi dan
disembuhkan. Selain itu, Francis Collins, direktur penelitian genome Amerika
Serikat, mengungkapkan dalam satu bukunya yang berjudul, The Language of God
(2006) bahwa jalan ini panjang dan mahal untuk menjangkau semua manusia.
Dikatakannya pula bahwa we knew relatively little about what genome might
contains, yang pada gilirannya sulit diaplikasikan terutama pada orang miskin
yang berkesulitan secara sosial dan secara ekonomis.
Sambil menanti dan berharap pada kemajuan ilmu, setiap orang
sebenarnya dapat menemukan sendiri keunikannya, terutama keunikan terhadap
makanan. Setiap orang belajar mengamati reaksi tubuh atas makanan yang
dikonsumsi. Setiap makanan akan mengundang reaksi. Nyaman minimal bila cocok.
Dalam strategi ini hanya satu yang perlu diperhatikan yaitu
pola kesahajaan. Yang dimaksudkan dengan kesahajaan di sini adalah kesahajaan
dengan alam dalam arti belajar mengkonsumsi makanan dalam jumlah terbatas dan
dalam olahan yang sederhana ketika sekali makan supaya mudah teridentifikasi,
sambil mengikuti reaksi tubuh. Bersahaja dengan alam tidak cukup. Setiap orang
juga bersahaja secara sosial dan secara spiritual. Aspek sosial dan terutama
aspek spiritual menjadi terang dalam menuntun untuk mengetahui yang cocok dan
yang tidak cocok.
Dengan kata lain, kesahajaan sosial dan spiritual juga
merupakan aspek lain yang penting dalam menentukan derajat kesehatan tubuh.
Banyak penyakit tubuh disebabkan oleh dua hal ini yang jarang menjadi perhatian
medis curative based.
Inilah cara berperang yang sederhana, aman, dan mudah
dilakukan semua orang. Cara ini bersih dari ketergantungan pada siapa pun dalam
urusan kesehatan dan bersih dari merepotkan dan menyalahkan apalagi
memenjarakan orang lain dalam urusan kesehatan. Setiap orang dapat menjadi
dokter atas dirinya sendiri dalam arti dokter yang mencegah penderitaan.
Sudah banyak orang di Indonesia yang mengikutinya dan
terbukti lebih manjur menjadi sehat tanpa tergantung pada obat dan jaringannya.
Hidup juga menjadi lebih sederhana, murah dan sukacita. Bukankah sukacita dalam
berelasi juga menentukan kesehatan tubuh?
Bila setiap orang peduli dengan keunikannya dan peduli
dengan reaksi tubuhnya, peduli dengan relasinya dengan orang lain dan relasinya
dengan yang Allahi secara spiritual, maka pada waktunya mafia kesehatan yang
telanjur menggurita dan membebani pihak tertentu akan runtuh tanpa korban.
Awalilah dengan berperang memperbaiki relasi dengan alam, sesama dan yang
Allahi.*
Comments
Post a Comment