Bacaan Minggu, 26 Oktober 2025 menampilkan isu yang cukup kontradiktif dengan kenyataan hidup manusia. Miskin dan cap pendosa (pemungut cukai) menjadi kondisi yang paling dihindari ternyata justru diterima Allah sebaliknya menjadi kaya yang adalah dambaan setiap insan malah doanya tidak menembus awan. Yang dihindari malah doanya menembus awan, sedangkan yang didambakan malah terjadi sebaliknya. Banyak penjelasan yang kita dengar dan baca sering berkutat hanya pada moral umum bukan moral injil. Berikut beberapa penjelasan Opa menampilkan sesuatu yang sering luput dari permenungan kita.
ALLAH TIDAK PERNAH PILIH KASIH.
Bacaan Hari Minggu kemarin seakan menghadirkan konflik dalam diri. Semua orang mau menjadi kaya dan masuk surga sementara yang doanya menembus awan justru orang miskin. Dunia membenci kemiskinan sementara justru doa orang miskin yang didengar Tuhan. Orang bisa saja* sampai pada pandangan bahwa mau kaya salah, mau miskin tidak enak, persetan dengan semua itu. Ini yang perlu diluruskan. Sesungguhnya yang benar adalah bahwa bukan miskin yang menyebabkan doa didengar atau orang sukses seperti orang Farisi menjadikan doanya tidak didengar. Ini pandangan yang keliru, sejatinya semua Doa dari siapa pun didengarkan Allah. Semua orang dicintai Allah. Allah memberi hak hidup sama kepada semua orang siapa pun dia. Dia tidak hanya memberi hak hidup kepada pemungut cukai dan orang miskin, tetapi hak yang sama juga kepada orang sukses dan kaya seperti Orang Farisi. Yang membedakan adalah orang yang rendah hati jawaban Allah didengarnya dengan terang benderang. Orang sombong tidak mau mendengar jawaban Allah karena dia merasa paling hebat, paling tahu sehingga tidak perlu mendengar jawaban Allah. Yang penting itu bukan pada doa kita didengar Allah melainkan pada kita mendengarkan jawaban Allah atau sebaliknya. Itulah bagian yang paling penting. Contoh nyata orang yang focus pada mendengar jawaban Allah adalah seperti pengalaman St. Paulus pada bacaan kedua, hidup dan mati bukan masalah baginya. Karena mendengar jawaban Allah untuknya maka St. Paulus tidak mempersoalkan dirinya dipenjara malah dia mengampuni dan mengasihi orang yang memenjarakan dirinya. Sikap orang yang percaya Injil adalah tidak boleh sombong supaya jawaban Allah bisa didengar. Fakta yang sering kita hadapi menjadi sangat jelas bahwa orang yang sombong tidak akan pernah mendengar orang lain apalagi orang yang dia anggap bodoh. Berbeda halnya dengan orang yang rendah hati yang mau mendengarkan maka dia akan mendapat berkat baru berupa pengetahuan baru yang bisa saja mengubah hidupnya. Semua murid di kelas yang sama pasti mendengar penjelasan yang sama dari guru yang sama lalu mengapa hasilnya berbeda, karena sikap mendengarkan dan respon dari masing-masing murid yang menentukan hasilnya. Bukan soal rendah hati saja, karena tanpa injil juga orang tahu pentingnya kerendahan hati. Jika berkaca pada bacaan Injil kita harus rendah hati supaya tuntunan Allah sebagai jawaban doa kita didengar dengan jelas. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana kita bisa mendengar jawaban Allah sebagai tuntunan bagi hidup kita? Bukan pertanyaan bagaimana supaya doa kita didengar Allah? Yang dijelaskan bahwa kita harus rendah hati supaya doa kita didengar Allah adalah keliru karena kita seolah mengatur Allah dan menganggap dan memperlakukan Allah minimal sama dengan kita. Kalau orang sombong kita tidak mau mendengarnya, sebaliknya orang yang baik, rendah hatilah yang kita dengar. Allah tidaklah demikian. Semua doa kita siapa pun dia Allah mendengarnya. Kesombongan kita yang menjadikan jawaban Allah tidak kita dengar. Jika Allah membeda-bedakan doa orang maka Allah seperti orang sombong yang menunggu orang rendah hati berdoa baru didengarNya. Jika demikian adanya, di manakah maha rahim Allah? Berita yang benar dari Injil adalah Allah mendengarkan doa semua ciptaanNya. Allah terus menuntun kita melalui Injil supaya cara hidup kita menjadikan kita bisa mendengar jawaban dari Allah. Karena itulah Allah membandingkan pemungut cukai dan Orang Farisi agar kita belajar cara hidup seperti pemungut cukai dan bukan Orang Farisi supaya kita mampu mendengar jawaban Allah. Hal ini sudah terbukti pada hidup St. Paulus dalam bacaan kedua. St. Paulus tetap mengasihi mereka yang memenjarakan dia karena dia tahu jawaban Allah baginya.
Porat Antonius
TEAMBHSKOCARKACIRSKK.
Niko Boleng.
Comments
Post a Comment