Takut, gelisah, cemas disebut penyakit. Orang yang gelisah dan takut berlebihan biasanya dibawa ke psikiater/psikolog. Disana gejala itu diperlakukan sebagai penyakit. Pada dasarnya, gejala itu memang penyakit. Penyakit semacam itu terjadi karena kualitas iman masih sebatas ritual. Masih mengandalkan otak. Kalau kita mengandalkan otak mengatasi semua masalah, gelisah dan seterusnya itu masih akan terus dialami.
Sebenarnya sudah banyak orang pintar di dunia menempatkan ketakutan dan kecemasan dari sisi spiritual. Ketika kita mengalami situasi semacam itu, kita diajak berpikir. Tetapi banyak masalah yang tidak cukup dengan berpikir. Misalnya, kematian atau sakit yang tidak sembuh, tidak bisa diatasi dengan berpikir. Jawabannya adalah berdoa atau melakukan kebaikan. Kalau ke psikiater/psikolog, kita hanya akan diberi obat untuk menghilangkan rasa sakit. Obat itu hanya menyentuh sistem limbik karena pada dasarnya obat menempatkan kita sebagai binatang. Semua obat pernah berhasil pada binatang lalu diberikan pada manusia karena kita dalam ilmu pengetahuan disebut rational animal. Kalau kita mengandalkan otak maka kita tidak akan bebas dari kegelisahan dan ketakutan.
Saya mengajak SKK ketika berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan untuk jangan mengandalkan otak lagi. Dua cara yang harus ditempuh adalah berkomunikasi lewat doa dan berkomunikasi lewat kasih.
Dalam sharing Ibu Elisa, satu kata kunci penting yang diangkat adalah bahwa apa yang diterima oleh SKK adalah rahmat. Sifat rahmat itu sendiri tidak dapat ditakar oleh logika. Satu-satunya sikap dalam menerima rahmat adalah percaya dan lakukan. Sudah banyak di seluruh Indonesia seperti Franky dan dr. Erlyn yang menjadi saksi bahwa dengan sikap percaya dan lakukan pasti akan sembuh. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tidak ada satu pun yang kita lakukan tanpa percaya. Untuk membangun pernikahan yang baik, dimulai dari percaya. Kalau kamu masih ragu, itu artinya belum percaya.
Tetapi apa sesungguhnya “ragu”. Ragu sebetulnya berangkat dari pikiran Rene Descartes yang aslinya berbunyi “Dubito Ergo, Cogito Ergo Sum”. Orang memaknainya sebagai
“saya berpikir saya ada.” Tetapi, dalam definisi aslinya, saya yang dimaksud disitu adalah bukan saya fisik tetapi jiwa yang berasal dari cahaya Allah. Karena itu, “saya” yang berpikir itu adalah saya yang mengikuti pikiran yang berasal dari cahaya Allah.
Dalam cahaya Allah itu setiap orang berbeda-beda. Itu terlihat pada racun tubuh. Ada yang dilarang makan makanan tertentu karena punya dampak tertentu. Dalam beberapa kesempatan BHS ditegaskan bahwa otak mempunyai fungsi lebih dari sekedar berpikir rasional. Anggota SKK diajak untuk aktif berpikir inspirasional yakni yang berasal dari Roh. Lebih banyak pengalaman dalam hidup diatasi dengan pikiran rasional. Racun yang kita terima, semua perintah dalam pelayanan SKK berasal dari otak inspirasional, bukan hasil analisa rasional. Gunakan otak inspirasional itu dalam kehidupan untuk mengatasi kecemasan, ketakutan, dan keraguan.
Porat Antonius
NB;
Bacalah dgn sepenuh hati pesan2 ini sebagai Refleksi kehidupan kita shg dapat menguatkan iman didalam menghadapi situasi pandemi.
TEAM BHSO KOCARKACIR.
Comments
Post a Comment