Tentang situasi kita saat ini, bagi yang beragama Kristen barangkali pernah mendengar kisah Santo Petrus ketika dia hendak kabur dari kota Roma karena akan disalibkan oleh Kaisar Nero. Di tengah jalan dia bertemu Yesus. Tergopoh-gopoh Petrus bertanya, Quo Vadis. Jawab Yesus: Romam vado iterum crucifigi. Artinya, saya mau ke Roma untuk disalibkan sekali lagi. Mendengar jawaban Yesus, Petrus malu dan dia kembali ke Roma. Untuk menunjukkan kesungguhannya, dia disalibkan dengan kepala ke bawah.
Cerita ini masih relevan dengan situasi saat ini. Kita sakit karena kita kabur dari makan di rumah dan makan di luar rumah. Kita cari hidup mewah. Sebenarnya anggota SKK sudah berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Mungkin kita lupa bertanya pada Dia, Quo Vadis?
Selama ini, anggota SKK memang tidak disalibkan seperti Petrus. Tetapi kita berhasil menyalibkan makan makanan enak. Kita diminta taat racun tubuh dan jiwa.
Mengapa Petrus disalibkan dengan kepala ke bawah. Kita diminta kembali melihat ke bumi langsung. Makan makanan yang alamiah. Contoh Petrus adalah contoh orang yang mencari keselamatan dalam kesederhanaan. Bukan kemewahan. Yang benar adalah yang sederhana (Simplicium sigilum veri).
Bersyukurlah anggota SKK yang telah bertemu Yesus dan dipanggil untuk hidup sederhana. Kesederhanaan tidak hanya dalam hal makanan tetapi juga dalam bahasa. Dalam kasus Covid ini, kita mesti bertanya pada Tuhan, quo vadis? Kenapa informasi Covid simpang siur. Karena orang tidak sederhana dan jujur. Misalnya, harusnya katakan dengan jujur kalau vaksin tidak menjamin kesembuhan atau terbebas dari covid. Katakan bahwa ini adalah tindakan darurat yang tidak selalu berakhir baik. Jangan janjikan yang muluk-muluk. Supaya orang masih bergerak mencari alternatif lain.
Pengalaman Petrus mengajarkan kita untuk mengembalikan kepalamu ke bumi. Bukan di langit yang kau cari, bukan di kepalamu yang kau impikan. Tapi kejujuran dan kesederhanaan ada di bumi. Dengan kaki ke atas dan kepala ke bawah, Petrus mau katakan bahwa tidak usah melihat kepala yang di atas yang dipandang cerdas. Lihatlah kaki karena punya kecerdasan yang sama dengan otak. Ketidakjujuran dan kemewahan yang kita impikan dari otak ditancapkan ke dalam tanah. Kesederhanaan diangkat ke langit dengan mengarahkan kaki ke atas. Selama ini, Allah ditaruh di kaki yg dianggap rendah karena kita mengutamakan pikiran yg seolah-olah ada di atas. Karena itu, Petrus membalikkan kepalanya yang sombong itu ke bumi, menenggelamkannya ke bumi, dan mengikuti apa kata bumi terhadap hidupnya. Pandanglah ke tanah, banyak yang bisa belajar dari kesederhanaan dan kejujuran bumi.
Saya minta anggota SKK utk belajar mencintai keheningan, karena suara dari luar frekuensinya tinggi. Suara Tuhan/Malaikat berfrekuensi rendah. Karena kita sering bersuara frekuensi tinggi, sulit mendengar suara berfrekuensi rendah. Karena itu dalam bacaan gereja katolik minggu lalu, carilah keheningan. Yang dimaksud Yesus adalah keheningan dalam pelayanan. Misalnya, orang sibuk kerja dengan sungguh hati, pasti lupa jam. Lupa lapar. Pelayanan atau berbuat baik adalah keheningan dari orang beriman. Makin kita baik, makin mampu kita mendengar suara Tuhan.
Cari Tuhan. Mudah-mudahan seperti Petrus, kita bisa ketemu Tuhan di persimpangan antara otak dan hati.
NB;
Kiranya pesan Opa Anton ini bukan hanya sekedar dibaca ttp dpt di sharingkan di group masing2 drpd bahas yg lain.
TEAM BHSO KOCARKACIR.
Apakah Damai ada padamu? Pertanyaan renungan Opa mengawali aktivitas ngopi pagi di BHS SKK Klaten. Pertanyaan ini memperlihatkan pentingnya damai yang pasti sudah sangat sering didengar baik dari mimbar agama maupun mimbar kehidupan lainnya. Damai memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kita baik sebagai pribadi dalam keluarga, komunitas keagamaan maupun komunitas social dan komunitas kategorial lainnya. Kali ini Opa menjelaskan damai dari dan dalam ritus agama dan terlebih pada ritus kehidupan. DAMAI DALAM RITUS HIDUP. Ritus keagamaan bagi banyak dari kita sudah dilakukan secara sungguh-sungguh. Meskipun demikian ritus agama terbatas. Ritus yang tidak terbatas justru ada dalam kehidupan sehari-hari. Ketika sendirian pun ritus hidup tetap berlangsung. RITUS DAMAI DALAM BERPIKIR. Ketika berpikir ritus hidup tetap terjadi, saat itu kita bisa memandang ke dalam diri , apakah dalam berpikir damai ada dalam pikiranmu. Kalau pikiranmu berisi kecemasan maka kedamaian tida...
Comments
Post a Comment