Pada Masyarakat tradisional, hantu dianggap nyata dan ada, juga dianggap menakutkan dan membahayakan manusia. Kepercayaan ini masih kuat hingga kini. Banyak orang di desa bahkan di kota yang masih percaya dan masih takut hantu. Karena menakutkan, banyak orang berjuang menghindari atau melawan hantu dengan kekuatan jimat. Kemajuan dan perkembangan agama tidak mengurangi atau menghapus kepercayaan akan hantu secara tuntas. Bacaan pada hari Minggu mengggambarkan kehadiran Tuhan di tengah manusia. Kehadiran-Nya masih juga dibaca sebagai hantu yang gentayangan ditengah malam – dan - di tengah laut. Dalam Injil dikisahkan bahwa para murid membaca kehadiran Yesus - yang berjalan di atas air di tengah laut pada waktu tengah malam - sebagai hantu. Para murid ketakutan. Melihat mereka takut, Yesus menyapa mereka dan meminta mereka tenang. Petrus masih ragu, dan untuk menghapus keraguannya, Petrus minta Tuhan menyuruhnya berjalan di atas air. "Tuhan, jika benar Tuhan sendiri, suruhlah aku berjalan di atas air". Petrus turun di atas air. Tetapi ketika dirasakannya bahwa angin yang bertiup kencang, Petrus takut dan mulai tenggelam. Yesus mengulurkan tangan Nya dan Petrus selamat.
Apakah orang beriman merasakan dan
menjadi saksi kehadiran Tuhan di dunia? Jawaban atas pertanyaan itu : bisa ya,
bisa tidak. Elia dalam Bacaan Pertama menjadi contoh manusia yang percaya
kehadiran Tuhan melalui peristiwa alam. Elia melihat angin yang membelah gunung
dan batu, atau gempa, nyala api dan angin sepoi-sepoi sebagai tanda kehadiran
Allah. Petrus sebagai contoh manusia yang ragu yang tidak dapat membedakan kehadiran
Tuhan dari hantu. Mungkin banyak orang beriman yang membaca semua peristiwa
alam atau kehadiran Tuhan - dalam bentuk lain - , sebagai kehadiran hantu yang menakutkan.
Paulus tampil sebagai tokoh yang teguh mengakui pengalamannya dengan jujur dan
dengan jujur pula mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah, karena Allah
nyata hadir. Allah hadir dan tetap hadir di tengah dunia. Allah setia dengan
kasih-Nya kepada manusia agar manusia tidak takut. Tetapi manusia umumnya atau
orang beriman khususnya tidak pernah bebas dari takut. Salah satunya seperti
yang digambarkan pada Injil bahwa manusia percaya dan teguh percaya pada hantu.
Kehadiran Tuhan di tengah bahaya apalagi pada tengah malam dibaca sebagai hantu
yang menyebabkan angin kencang yang berbahaya. Peristiwa alam seperti api,
angin atau gempa. Angin hanya dibaca
sebagai peristiwa alam biasa yakni perpindahan udara dari satu tempat ke tempat
lain. Gempa bumi di anggap semata sebagai pergeseran lapisan bumi, dąn
sebagainya. Jarang dibaca sebagai peristiwa kehadiran Allah yang menyapa manusia
dengan bahasa alam. Saat melihat peristiwa alam jarang manusia yang berdoa seperti
misal :Tuhan bersabdalah dengan kata yang dapat kami dengar supaya kami mengerti
apa kehendak-Mu atas kami melalui peristiwa alam ini. Demikian pula dengan
pengakuan tulus orang yang mengalami Allah seperti yang terjadi pada Paulus.
Tidak banyak manusia yang mencoba mendengarkan dan mengikuti dengan seksama
pengakuan orang yang mengalami Allah. Manusia masih selektit dalam menerima
pengakuan orang yang mengalami Allah dalam hidupnya. Itu karena masih kuatnya pandangan hantu. Yang
diterima sebagai pengalaman berjumpa Allah hanyalah kata-kata dari orang
tertentu - yang dalam ukuran dunia dianggap merupakan orang pilihan Allah karena pendidikan, seperti pendeta atau pastor apalagi kalau
uskup. Pengakuan orang biasa jarang dianggap sebagai pengalaman iman yang meneguhkan
iman orang lain. Pengakuan orang biasa cenderung dicurigai sebagai berasal dari
hantu. Cara pandang yang masih kuat antara Tuhan versus hantu sudah pasti
membawa kekeliruan dan kealpaan pada manusia dalam membaca kehadiran Allah dalam
bentuk peristiwa alam, kehadiran melalui peristiwa serupa manusia atau
kehadirannya yang dialami orang tertentu. Kekeliruan atau kealpaan ini pada
gilirannya akan berkonsekuensi pada kehilangan kesempatan mengalami kehadiran
Allah dalam berbagai bentuk.
Oleh karena itu melalui bacaan pada
hari Minggu ini, orang beriman diminta untuk pertama, menghapus gagasan tentang hantu supaya dapat mengalami
kehadiran Allah yang mungkin serupa hantu dalam pandangan tradisonal. Kedua, orang beriman diharapkan sabar
dan tidak tergesa-gesa dalam menghakimi peristiwa baik alam maupun peristiwa
pengakuan orang lain. Melalui alam atau melalui bahasa alam, Allah menyapa
manusia supaya manusia menyadari bahwa kehadiran Allah tidak dapat didikte oleh
keinginan manusia : yakni Allah hadir menunggu orang beriman di gereja atau di
tempat ibadat. Manusia diharapkan terbuka tanpa curiga terhadap cara Allah
untuk menghadirkan diri-Nya di dunia. Demikian juga dengan pengakuan tulus
sesama manusia yang mengalami Allah. Allah tidak memilah dalam arti hanya menunjukkan
diri dan kasih-Nya kepada orang tertentu yang berpendidikan tertentu, terutama
kepada mereka yang mampu menjelaskan secara logis rasional melalui kata-kata
indah dan berbunga - bunga. Bukankah yang diwartakan oleh manusia yang berpendidikan
khusus jaman ini adalah rekaman pengalaman iman orang-orang pilihan Allah
sendiri? Yakni orang-orang yang dipilih Allah bukan berdasarkan berpendidikan khusus atau
tanpa gelar dari lembaga pendidikan khusus? Orang beriman diharapkan tidak sombong
lalu menempatkan diri sebagai yang lebih tinggi dari yang mengakui
pengalamannya bersama Allah dengan tulus. Orang beriman diharapkan terbuka dan
dengan sabar menerima pengakuan itu kemudian dilakukan tanpa mempersoalkannya
secara logis rasional. Biarkan Allah yang meluruskannya sendiri bila pengakuan
itu bersumber dari hantu – jika memang hantu itu ada dan benar ada. Dengan
demikian orang beriman tampil sebagai órang yang teguh melihat semua peristiwa
sebagai peristiwa Allahi. Ketika mengalaminya, biasanya ada suara kata yang
menjelaskannya. Resapilah dan katakan dengan tulus. "Terima kasih ya
Allahku, Engkau setia hadir dan menunjukkan kasih setia-Mu dengan berbagai,cara
supaya kami manusia tidak perlu takut lagi apalagi takut terhadap hantu".
Cuplikan
dari Buku Eksegese Orang Jalanan karya Porat Antonius,
Lebih lengkap lagi dapat dibaca di Buku Eksegese Orang Jalanan, Minggu Biasa ke 19 Tahun Liturgi A, Buku Jilid 2, halaman 205 – 210
_edian_
Comments
Post a Comment