APAKAH KITA MAMPU MENCINTAI? ----
Mampukah kita melakukan cinta itu? Jawabannya: Pasti bisa! Karena Allah yang menunjangnya. Karena Allah yang menunjangnya, maka jawabannya pasti bisa. ----
Pasti bisa, karena Allah sudah lebih dahulu memberikan cinta itu kepada diri kita. Dengan kata lain, potensi cinta sudah dialirkan Allah ke dalam diri. Potensi itu selain ditambahkan Allah terus menerus, tetapi juga bertumbuh di dalam diri. Cara menumbuhkan cinta… kita mengalirkan cinta. ----
Dalam hidup sehari-hari jelas, semakin kita terbiasa tersenyum, senyuman itu menjadi otomatis. Karena kita terus mengalirkan senyuman itu, maka senyuman itu menjadi otomatis. Semakin kita rajin, rajin itu juga menjadi otomatis. Kebalikannya, kalau kita berlajar bersungut-sungut, nanti bersungut-sungutnya juga otomatis. ----
Karena itu coba biasakan diri dalam cinta, dan akan menjadi otomatis. Pertanyaannya apa yang menyebabkan dia menjadi otomatis? Terus mencintai. Sampai kita melakukan cinta itu tanpa beban, tanpa berpikir Banyak. Coba kita sekarang menjadi saudara, menjadi adik-kakak, bukan karena kita berpikir bagaimana menjadi saudara. Tetapi kita menjadi saudara karena ya hidup saja sebagai saudara, dan rasanya bertumbuh sendiri. Jalankan saja, nanti Allah yang tunjang, Allah yang tambahkan. Itulah sebenarnya cinta yang sederhana, yang bisa kita lakukan. ----
Kita mampu? Mampu, karena Allah mendahului mencintai kita dan tidak akan pernah berhenti mencintai kita.
Dalam konteks cinta, apa yang dipersembahkan Yesus kepada Bapanya? Yang dipersembahkan Yesus adalah kegagalan kita. Jadi kita punya Yesus yang mempersembahkan kegagalan kita, supaya kegagalan kita jangan menjadi beban. Ketika sudah dipersembahkan kepada Allah, maka kita tidak mempunyai beban, maka ringanlah hidup dan kita bisa terus melakukan cinta walaupun kecil.
Lalu yang dipersembahkan Yesus itu “didaur-ulang” oleh Tuhan untuk menjadi kekuatan baru, memberi energi baru yang tumbuh pada kita. Karena itu jangan takut dengan kegagalan, karena kegagalan kita itu akan diambil Yesus dan dipersembahkan kepada Bapanya. ----
Jadi kalau kita mencintai, melibatkan otak iya, tetapi jangan otak saja. Kalau otak maka dia punya cinta itu, cinta kalkulatif. Tapi kalau cinta dengan jiwa, ada waktunya menghitung tapi ada waktunya tidak menghitung. Tapi kalau jiwa (hakekatnya) tidak menghitung. ----
[Opa Anton, Meja Teologi, Pontianak, 4 November 2018]
By: Kocar-Kacir Productions
Comments
Post a Comment